• The Kanigara Journey
  • Posts
  • Kisah Inspiratif: Abu Ubaidah bin Jarrah – Sang Penjaga Amanah dan Pemimpin yang Bijaksana dan Dihormati. (part 1)

Kisah Inspiratif: Abu Ubaidah bin Jarrah – Sang Penjaga Amanah dan Pemimpin yang Bijaksana dan Dihormati. (part 1)

"Tahukah kamu siapakah Abu Ubaidah bin Jarrah? Ia adalah salah satu sahabat Nabi Muhammad shallAllahu alaihi wasallam yang dikenal karena keberanian, kesetiaan, dan kesederhanaannya. Dijuluki sebagai Aminul Ummah atau Penjaga Amanah Umat, Abu Ubaidah adalah sosok pemimpin yang dihormati kawan dan lawan."

"Dari masa kecilnya hingga menjadi salah satu panglima besar di medan perang yang disegani, kisah Abu Ubaidah adalah perjalanan seorang pejuang sejati yang tidak hanya melindungi Islam dengan keberanian, tetapi juga menjaga amanah umat dengan keikhlasan. Mari kita ikuti jejak langkahnya."

[Chapter 1: Masa Kecil dan Awal Masuk Islam]

"Lahir di Mekkah sekitar tahun lima ratus delapan puluh tiga Masehi, Abu Ubaidah, yang memiliki nama asli Amir bin Abdullah bin al-Jarrah, adalah bagian dari suku Quraisy. Ayahnya Abdullah bin al-Jarrah adalah salah satu pemimpin klan di suku quraisy yang juga aktif dalam memimpin peperangan. meskipun begitu, Ia tumbuh sebagai pemuda yang dikenal karena kejujuran, kesederhanaan, dan keberaniannya. Bahkan sebelum memeluk Islam, sifat amanah sudah melekat kuat dalam dirinya."

"Ketika Nabi Muhammad shallAllahu alaihi wasallam mulai menyampaikan dakwahnya, Abu Ubaidah langsung terpikat dengan ajaran Islam. Ia memeluk Islam atas ajakan sahabat dekatnya, Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan menjadi salah satu dari Assabiqunal Awwalun, golongan pertama yang masuk Islam. Tapi pilihannya itu tidak mudah. Sebagai bagian dari Quraisy, ia harus menghadapi tekanan hebat dari kaumnya sendiri."

[Chapter 2: Keberanian Abu Ubaidah di Medan Perang]

"Abu Ubaidah adalah sosok panglima yang tidak hanya memimpin dengan strategi, tetapi juga turun langsung ke garis depan. Ia ikut serta dalam semua pertempuran besar Islam, dari Perang Badar hingga Perang Khandaq pada zaman kepemimpinan Rasulullah."

  1. Perang Badar pada tahun enam ratus dua puluh empat Masehi

"Di Perang Badar, Abu Ubaidah menghadapi ujian terbesar dalam hidupnya. Ayahnya, Abdullah bin Jarrah, berada di pihak Quraisy dan mencoba menyerangnya di medan perang. Abu Ubaidah terus menghindar, mencoba mengelak dari konfrontasi langsung dengan ayahnya. Namun, Abdullah tetap menyerangnya tanpa henti."

"Akhirnya, dengan berat hati, Abu Ubaidah terpaksa bertindak demi melindungi agama dan pasukannya. Pedangnya menebas lawan, yang tak lain adalah ayahnya sendiri. Peristiwa ini menggambarkan cinta dan pengabdiannya kepada Islam di atas segalanya."

Allah memuji tindakan ini dalam Quran Surah Al-Mujadalah Ayat 22 yang berbunyi:

"Engkau tidak akan mendapati suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhir, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, meskipun mereka adalah ayah-ayah mereka sendiri..."

  1. Perang Uhud pada tahun enam ratus dua puluh lima Masehi

"Saat Perang Uhud, Abu Ubaidah menunjukkan keberanian luar biasa. Ketika Rasulullah terluka parah, dua rantai dari helm Nabi menancap di wajah beliau. Tanpa ragu, Abu Ubaidah mencabut rantai itu dengan giginya sendiri hingga giginya patah. Rasulullah begitu menghormati pengorbanan besar ini."

  1. Perang Khandaq pada tahun enam ratus dua puluh tujuh Masehi

"Dalam Perang Khandaq, Abu Ubaidah menjadi salah satu pemimpin yang menjaga parit sebagai benteng pertahanan Muslim. Strategi ini berhasil menghalau serangan musuh besar Quraisy, menjadikan Madinah tetap aman."

[Chapter 3: Peran Strategis dalam Perang Yarmuk]

"Setelah wafatnya Nabi Muhammad shallAllahu alaihi wasallam, Abu Ubaidah bin Jarrah memainkan peran penting dalam ekspansi Islam di bawah kepemimpinan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khattab. Salah satu pencapaian terbesarnya adalah dalam Perang Yarmuk, yang menjadi titik balik penyebaran Islam di wilayah Syam pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.

"Perang Yarmuk adalah salah satu pertempuran terbesar dalam sejarah Islam, yang mempertemukan pasukan Muslim Arab dengan Kekaisaran Bizantium atau romawi timur pada tahun enam ratus tiga puluh enam Masehi. Pertempuran ini berlangsung di dekat lembah Sungai Yarmuk, wilayah strategis di Syam."

Dalam pertempuran ini, Abu Ubaidah bin Jarrah dengan kerendahan hatinya berada di bawah komando Khalid bin Walid, panglima tertinggi pasukan Muslim di wilayah Syam. Peran yang dipercayakan kepadanya sangat penting, yakni sebagai komandan yang memimpin pasukan infanteri di garis depan, sekaligus mengelola resimen kavaleri sebagai kekuatan cadangan untuk serangan balik. Ia ditempatkan sebagai pusat komando di posisi tengah kiri, bekerja sama dengan Yazid bin Abi Sufyan yang memimpin resimen kavaleri cadangan di sayap kiri. Dengan ketenangan dan disiplin yang luar biasa, Abu Ubaidah mengatur formasi pasukan untuk tetap teguh menghadapi musuh yang jumlahnya jauh lebih besar.

Abu Ubaidah tidak hanya memimpin dengan strategi, tetapi juga dengan jiwa kepemimpinan yang menginspirasi. Ia berdiri di hadapan pasukannya, memberikan motivasi dengan kata-kata yang membangkitkan semangat. Ia mengingatkan para prajurit untuk tetap teguh dalam keimanan, mengandalkan pertolongan Allah, dan mengorbankan segalanya di jalan-Nya. Kata-katanya menyentuh hati para prajurit, memberikan mereka keberanian untuk menghadapi tekanan besar dari pasukan Bizantium.

Strategi cemerlang Khalid bin Walid dan kepemimpinan tenang dari Abu Ubaidah berhasil membawa kemenangan besar bagi pasukan Muslim. Meskipun kalah jumlah, pasukan Islam mampu memukul mundur dan menghancurkan kekuatan Bizantium. Kemenangan ini tidak hanya menjadi penanda keunggulan militer Islam tetapi juga membuka jalan bagi penaklukan wilayah-wilayah penting di Syam, termasuk Damaskus, Palestina, dan Yordania.

[Chapter 4: Sebagai Pemimpin yang hebat dan dihormati]

Pada tahun enam ratus tiga puluh enam Masehi, sebelum berlangsungnya Perang Yarmuk, Khalifah Umar bin Khattab telah mengeluarkan perintah untuk mengangkat Abu Ubaidah bin Jarrah sebagai panglima tertinggi pasukan Muslim di wilayah Syam, menggantikan Khalid bin Walid. Namun, dengan sifat kerendahan hati yang menjadi ciri khasnya, Abu Ubaidah tidak segera mengumumkan perintah ini. Ia menyadari bahwa situasi sedang berada dalam kondisi kritis, dan semangat pasukan sangat bergantung pada kepemimpinan Khalid bin Walid yang kharismatik dan penuh strategi. Maka, ia memilih menahan keputusan tersebut hingga waktu yang tepat.

Setelah kemenangan besar di Perang Yarmuk, Abu Ubaidah secara resmi mengambil alih posisi panglima tertinggi. Meski demikian, hubungan erat dan rasa saling hormat antara dirinya dan Khalid bin Walid tetap terjaga. Khalid tetap menjadi komandan penting yang memainkan peran strategis di bawah kepemimpinan Abu Ubaidah. Keduanya bekerja sama memimpin berbagai penaklukan besar yang menjadi titik penting dalam sejarah penyebaran Islam.
Adapun penaklukan besar yang dipimpin Abu Ubaidah sebagai panglima perang antara lain: Penaklukan Damaskus, Penaklukan Homs atau Emesa dan Penaklukan Yerusalem.

"Setelah penaklukan Damaskus pada tahun enam ratus tiga puluh enam Masehi, Abu Ubaidah diangkat sebagai gubernur wilayah Syam, yang meliputi Suriah, Yordania, Lebanon, dan Palestina. Sebagai gubernur, ia dikenal sebagai pemimpin yang adil, zuhud, dan sederhana."

"Salah satu momen paling bersejarah dalam kepemimpinan Abu Ubaidah sebagai gubernur dan panglima perang adalah penaklukan Yerusalem pada tahun enam ratus tiga puluh tujuh Masehi. Penaklukan ini dilakukan dengan cara damai, di mana Khalifah Umar bin Khattab sendiri datang ke Yerusalem untuk menerima penyerahan kota dari Patriark Sophronius. Peristiwa ini menandai awal mula hubungan harmonis antara umat Muslim dan komunitas Kristen di Yerusalem."

Dalam sebuah kunjungan, Khalifah Umar bin Khattab datang ke rumah Abu Ubaidah untuk melihat keadaannya. Umar mendapati bahwa pemimpin besar ini hanya memiliki sebuah tikar, teko air, dan lampu sederhana. Melihat hal ini, Umar terharu dan berkata, "Dunia telah menguasai kita semua, kecuali kamu, wahai Abu Ubaidah."

"Di bawah kepemimpinannya, Syam menjadi wilayah yang stabil, makmur, dan harmonis. Keikhlasan, keadilan, dan kasih sayang yang menjadi prinsip Abu Ubaidah membuatnya dicintai oleh rakyatnya dan dihormati oleh kawan maupun lawan."